“Ini secercah kisah kehidupanku yang penuh
akan lika-liku alur perjalanan dari titik awal hingga ke akhir. Aku menemukan
berbagai rambu-rambu di setiap
persimpangan. Ketika waktunya untuk berhenti, aku akan mencoba untuk
berhenti. Di saat aku harus memutar arah ke belakang, maka aku akan melihat
masa lalu yang hampir sirna atau bahkan masih terngiang-ngiang di kepalaku dan
sekejab akan menikung untuk menghindari tabrakan beruntun di sepanjang tol. Semua
orang tidak akan tahu tentang nasib yang akan menyelimuti setiap waktu di
sepanjang rute perjalanan umurnya. Kisahku dan kisahmu akan saling berhubungan.”
Mungkin hanya
itulah sepenggal paragraf yang masih ku ingat saat kita membaca sebuah novel
bersama dikala putih abu-abu masih menjadi identitas kita dan toko muslim
menjadi vila yang nyaman untuk persinggahan sehabis pulang sekolah.
***
Kring… kring…! bel sekolah sudah
berbunyi, itu artinya kegiatan pembelajaran akan segera dimulai. Hari ini
merupakan hari terpenting yang harus kulalui dengan penuh semangat dan keceriaan
karena untuk pertama kalinya putih abu-abu membaluti tubuhku dan duduk di kelas
unggulan yang bergengsi di sekolahku. Awalnya, tidak ada seorang pun yang aku
kenal di kelas ini. Namun, sebelum bel berbunyi tadi aku menyempatkan waktu
untuk mengenal beberapa orang yang berada tepat di samping kanan dan kiriku. Mereka bernama Muhammad Ali dan Ruqayah As-Syifa.
Nama yang sangat islamiah, bukan? Mereka sama sepertiku mendapatkan beasiswa penuh dari pemerintah. Mereka telah membanggakan nama Indonesia di
kancah internasional. Ali berhasil meraih medali emas pada kejuaraan bela diri
di Korea tahun lalu dan Syifa adalah
seorang Hafiz Al Quran yang telah dikirim ke Al-Azhar selama setahun untuk
memperdalami ilmu agama di sana. Sedangkan aku, hanya bermodalkan medali perak
pada OSN matematika tingkat nasional dan lomba tilawah tingkat provinsi tahun
lalu.
“Ssssssttttttttt! Ibu Lena datang…”
teriak seorang siswa dari arah pintu.
“Assalamualaikum
anak-anak. Hari ini kita hanya akan perkenalan dan membuat kontrak belajar
selama satu semester ini. Ibu juga akan memberikan silabus untuk menunjang
pembelajaran agar kalian lebih aktif di kelas.” kata bu Lena.
Bu Lena adalah guru matematika
sekaligus wali kelas dan guru pembimbing olimpiade kami yang sangat baik. Ia akan datang
setiap advisor time untuk mengontrol
dan membimbing kami. Bu Lena berasal dari Batam, Kepulauan Riau yang pergi
merantau ke tanah Sriwijaya untuk bekerja sebagai pahlawan tanpa jasa.
***
Jam
Istirahat pun tiba, aku pergi ke taman untuk makan bekal yang telah diberikan
oleh ibu tadi pagi dengan menu roti tawar berbalut krim susu coklat kesukaanku.
Ini merupakan kebiasaanku sejak kecil untuk selalu membawa bekal ke sekolah. Sambil
menikmati makananku, aku menyempatkan diri untuk murojaah hapalan Al-quran ku. Tiga puluh menit pun berlalu, segera
ku langkahkan kakiku menuju ke kelas sebelum mendengar suara bel utuk kedua
kalinya.
“
Zahra……” teriak seorang lelaki dari arah pintu.
“
Iya kak, ada apa? “ sahutku dengan kepala tertunduk dan takut.
“
Ini punyamu, ku temukan al quran ini di taman sewaktu istirahat tadi.”
“
Oh iya, ini benar punyaku. Terima kasih kak. “
“ Sama-sama. Oh
iya, tanpa sengaja suaramu terdengar olehku ketika kamu membaca surat An Nur tadi.
Itu sangat mengagumkan bagiku.” sahutnya .
“
Terima kasih kak atas pujiannya.” jawabku dengan rada malu.
Aku
pun hanya tersenyum dan menunduk.Tanpa basa-basi, aku langsung pergi dari
hadapannya menuju ke mejaku.
Ali
dan Syifa langsung meledekku dengan nada bercanda
“ Cie…
ada yang dapat teman baru nih, kakak kelas pula, pintar matematika, anak rohis,
dan wakil ketua osis.”
“ Apaan sih? Itu hanya kebetulan. Lagian kakak itu hanya
mengembalikan Al quran ku yang tertinggal.
BTW, dari mana kalian tahu banyak tentang kakak itu ? aku bahkan tidak tahu
namanya.” Kataku dengan wajah yang memerah. Ali pun menjawab, “ jadi kamu tidak
tahu tentang kakak itu? Kak Hanafi itu adalah kakak yang selalu menjadi buah
bibir para guru karena kecerdasannya yang berhasil membawa nama sekolah ke
kancah internasional melalui olimpiade matematika. Selain itu, kak Hanafi merupakan hafiz Al quran dan yang terpenting
adalah dia merupakan tetanggaku.”
“ Oh,,, tetangga. Kenapa tidak bilang
dari tadi ! “ jawab kami serentak.
“ Ya sudah, kita lanjutkan tugas tadi
nanti malah ghibah.”
Tidak
terasa hari ini pun cepat berlalu dengan sangat sempurna seperti apa yang ku
harapkan sebelumnya. Sesampainya di rumah aku langsung membantu ibuku bekerja. Ibuku
adalah seorang ibu sekalian kepala rumah tangga di rumahku karena sejak umurku
masih delapan tahun, kedua orang tuaku bercerai. Aku sempat tinggal bersama
ayahku selama setahun. Namun, aku memutuskan untuk tinggal bersama ibu dan
kedua adik kandungku. Ibu ku merupakan wanita yang tangguh dan pekerja
keras serta pantang menyerah. Ia rela banting
tulang siang malam demi mencukupi semua kebutuhan biaya hidup kami. Bahkan, ia
rela meminjam uang di bank dengan bunga 6% per bulan untuk modal membuka usaha
kecil-kecilan. Kami tinggal bersama nenek di sebuah desa yang letaknya agak
jauh dari kota. Setiap hari pun aku harus menempuh perjalanan menggunakan bus
kota untuk menghemat pengeluaran ongkos. Seringkali terbesitlah sebuah pemikiran untuk mencari
pekerjaan sambilan sehabis pulang sekolah agar penghasilanku dapat sedikit
membantu ibu. Lagi pula jam sekolahku berakhir hanya sampai jam dua belas saja.
Jadi, aku harus merahasiakan rencana ini
dari ibu karena ia akan marah jika mengetahui ini.
“
Bu, besok aku akan pulang jam 5 sore,karena ada kelas tambahan di sekolah.” Aku
pun berkata bohong untuk hal ini karena aku sangat ingin membantu ibu.
“Iya ra, besok
ibu siapkan bekal nasi untuk makan siangmu. Belajar yang rajin ya nak.” Jawab
ibu.
“ Ya Allah maafkan aku, aku merasa bersalah terhadap
ibu.” (dalam hatiku) Aku pun menatapi ibu yang masih bekerja hingga larut malam
seperti ini. Aku tahu jika batin ibu selalu menangis memikirkan nasib
anak-anaknya. Tapi, percayalah bu anakmu ini kelak akan menjadi orang sukses di
masa depan.
“
Zahra! Masuk dan tidurlah, ibu akan menyusul setelah kue ini sudah jadi. ”Seru ibu
dengan intonasi yang lembut. “Iya bu, selamat malam.” jawabku sambil menuju ke
kamar.
***
Keesokan harinya
ketika di sekolah kami bertiga membawa bekal makanan untuk mengganjal perut
ketika istirahat dan menikmatinya di taman. Kemudian kami murojaah hafalan dan bercerita sambil bermuhasabah diri. Aku
bercerita mengenai rencanaku sehabis pulang sekolah nanti dengan berbisik-bisik
kepada mereka berdua.
“
Li, Fa, aku ingin membantu ibu ku dengan
bekerja paruh waktu sehabis pulang sekolah. Tapi, aku bingung ingin bekerja
dimana? Kalian tahu tidak tempat yang menerima pekerja paruh waktu dan masih
sekolah.”
“
Sebenarnya sangat sulit mencari lowongan seperti itu ra, tetapi kau tenang
saja. kami akan selalu berusaha membantu karena kita adalah teman.” Kata Syifa
menghibur.
Pulang
sekolah pun tiba, Ali dan Syifa langsung menghampiriku dan membawa secarik
kertas berwarna biru.
“Apa itu?” tanyaku, “ itu… ini… anu…
adalah brosur yang baru aku temukan di pohon dekat pos satpam tadi.” Sahut Ali
dengan terbata-bata.
“ Ohhhhh, boleh kulihat sebentar?”. Tanpa ragu kutarik brosur itu dari tangan
Ali.
Ternyata ada sebuah toko muslim yang
membutuhkan pekerja paruh waktu yang letaknya kurang lebih 500 m dari sekolah.
Tetapi aku harus pergi sendiri ke sana karena Syifa sudah di jemput oleh
ayahnya, sedangkan Ali harus menemui bu Lena karena ia adalah ketua kelas di
kelasku.
Tiba-tiba
terdengar suara langkah kaki yang mendekat dari arah belakang setelah 10 menit
Ali dan Syifa meninggalkan diriku. Kemudian segera ku percepat langkahku karena
tinggal 2 persimpangan jalan lagi yang harus ku tempuh untuk menuju toko Muslim
tadi.
“
Zahra…” seperti suara seseorang yang pernah aku dengar (dalam hati) dan aku langsung menghentikan langkah kaki sejenak
setelah mendengar suara itu karena seperti tidak asing lagi bagiku. Sekarang
tubuhnya berdiri tepat di sampingku dan ternyata dia adalah kak Hanafi.
“ Mau kemana
kamu? Kenapa buru-buru sekali? Apakah rumahmu di sekitar sini?“ tanyanya
bertubi-tubi.
“ Saya cuma ingin
pergi ke sebuah toko di sana kak, saya hanya ingin mengejar waktu soalnya nanti
keburu sore. Rumahku berada jauh dari sini kak.” Jawabku gugup.
“ Berarti kita
searah nih, btw kamu temannya Ali
kan? Kamu mau tahu tidak rumahnya? Kakak kasih tahu ya, Itu rumahnya cat warna
putih dan hitam ( sambil menunjuk sebuah rumah) dan di sebelah kanannya itu
rumah kakak.” Kata kak Hanafi dengan ramah.
Aku pun hanya bisa terdiam karena aku
tidak tahu ingin berkata apalagi dan tibalah di depan rumah kak Hanafi. Kemudian
ia mengajakku mampir ke rumahnya. Sebenarnya aku tidak ingin menolak, tetapi
aku ingin mengejar waktu agar tidak terlambat pulang ke rumah. Sesampainya di
sana aku langsung menemui ibu pemilik toko untuk melamar pekerjaan. Setelah
diwawancarai selama 30 menit, akhirnya aku diterima oleh ibu Dila (pemilik toko)
sebagai pegawai di tokonya. Ia pun memberikan seragam pegawai untukku bekerja
esok hari.
“
Besok kamu sudah boleh bekerja di sini mulai dari jam 1 sampai dengan jam 5
sore. Karena sekolahmu sama dengan anak ibu, maka kamu bisa ikut ibu agar tidak
terlambat datang ke sini jadi ibu akan menjemputnya besok di sekolah. “ kata bu
Dila dengan ramah.
“Baik bu, terima kasih banyak. Assalamualaikum.”
Jawabku sambil meninggalkan toko.
“waalaikumsalam.” Jawabnya pelan
sambil melambaikan tangan.
Aku
pun langsung menuju rumah dengan membawa sebungkus kurma dari bu Dila sebagai
tanda diterimanya aku sebagai pegawai baru. Namun di sisi lain, aku bingung apa
yang nanti akan ku katakan pada ibuku. Aku tidak ingin berbohong lagi
padanya.Ya tuhan, berilah aku hidayah-Mu.
***
Hari ini pun telah dimulai dengan
semangat baru yang ku perlihatkan melalui senyumanku ke semua orang di sekolah.
Ali dan Syifa masih merasa heran tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku.
Sampai akhirnya mereka putuskan untuk bertanya,
“Zahra,
sebenarnya ada apa denganmu hari ini? Apa ini karena dua minggu lagi adalah
ulang tahunmu?”
“ Tenyata kalian masih
tidak tahu kenapa aku sangat bahagia sekarang. Aku bahagia bukan karena
sebentar lagi aku ulang tahun, tapi Alhamdulillah
karena aku diterima bekerja di toko muslim kemarin.”
“Alhamdulillah ya Ra, akhirnya kamu bisa
membantu ibumu.” Sahut Syifa.
Kring…kring…! bel pulang pun berbunyi
dan aku langsung berlari menuju gerbang sekolah untuk menunggu ibu
Dila.Tiba-tiba kak Hanafi datang lagi dengan tergesa-gesa juga. “lagi nungguin
siapa kak?” tanyaku yang sudah mulai berani berbicara.
“ lagi nunggu
umi, kalo kamu?” tanyanya balik.
Belum sempat kujawab, sebuah mobil
berwarna hitam pun berhenti di depan kami. Ternyata itu adalah mobil dari uminya
kak Hanafi dan sekaligus milik ibu Dila. Aku pun terdiam di tempat dan merasa
enggan tuk naik ke mobil.
“Zahra, ayo naik
nanti kita terlambat.”Seru ibu Dila.
“Umi kenal sama zahra?
Kenapa dia harus ikut kita?” seru kak Hanafi dengan berbisik.
Lalu ibu Dila berusaha menjelaskan
tentang kejadian kemarin dan kak Hanafi langsung berkata padaku,” kenapa kamu
tidak mengatakan ini kemarin? Aku pikir kamu mau pergi ke toko hanya ingin membeli sesuatu. Tapi, ternyata
kau ingin bekerja paruh waktu. Maka mulai hari ini, aku akan membantumu bekerja
di toko umi agar kamu tidak kerepotan dan masih memiliki waktu untuk belajar. “
kata kak Hanafi.
“Tidak usah kak,
aku telah memikirkan hal ini sejak dulu. Jadi, aku telah siap menerima risiko
apapun .” jawabku sambil meneteskan beberapa tetesan air mata.
“ Ini juga
merupakan keputusanku, jadi aku siap menerima risiko apapun juga.” sambung kak
Hanafi.
“Sudah- sudah,
cepat turun karena kita sudah sampai dan jangan lupa ganti baju kalian lalu
makan siang.” Sahut bu Dila.
***
Hari demi hari
kami jalani dengan bekerja dan waktu dua minggu pun tidak terasa. Ketika aku
melangkahkan kaki ke kelas dan menuju meja ku, ada sebuah kado yang berukuran
sedang berbalut kertas kado berwarna biru muda dan bercorak bunga terhampar di
laci mejaku. Aku kira ini dari Ali atau Syifa, tetapi tak seorang pun di sini
melainkan hanya aku dan kursi-kursi yang hening dalam ruang hampa. Tanpa
berpikir panjang, langsung ku masukkan kado itu ke dalam tasku. Aku hanya
berpikir bahwa Ali dan Syifa menaruhnya setelah pulang sekolah kemarin. Aku pun
pergi keluar dan menuju kamar kecil. Lalu, di tengah perjalanan terdengar suara
memanggil.
“Zahra, Barakallah fii umrik. I hope Allah always
blessing you and wish you all the best.”
Tanpa ku sadari ternyata suara itu
adalah suara kak Hanafi.
“ Thank you for your wishes kak.” Dengan
spontan hanya itu yang bisa aku jawab karena aku terburu-buru ingin ke kamar
kecil.
Sepuluh
menit kemudian aku kembali ke kelas dan mendapat sebuah kejutan dari Ali dan
Syifa.
Seluruh permukaan mejaku telah penuh
dengan kartu ucapan dari teman sekelas dan lacinya penuh dengan kado dari
mereka. Aku pun sangat terharu melihatnya dan langsung menangis sejadi-jadinya.
Ketika jam istirahat tiba aku di jamu oleh kedua sahabatku bak seorang putri
raja. Ini merupakan momen yang tidak akan pernah ku lupakan.
Sekolah
pun berakhir, seperti biasanya aku dan kak Hanafi menunggu ibu Dila. Tidak lama
menunggu, ibu Dila pun datang. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari tingkah
laku mereka berdua.
“Umi, kita pergi
ke pameran budaya Palembang yuk.”Kata kak Hanafi merayu.
“Tapi, kita harus
bekerja kak.”Jawabku menentang.
“ Kita akan pergi
ke sana selama jam kerja karena hari ini adalah hari libur untuk kalian.” Sahut
bu Dila.
“Kenapa bu?”
tanyaku heran.
“Karena hari ini
adalah hari ulang tahunmu.” Jawab mereka serentak.
Aku pun tersipu
malu karena terus saja diledek oleh mereka berdua. Aku tidak menyangka bahwa
semua orang sangat berantusias merayakan hari ulang tahunku. Jujur, ini
merupakan ulang tahun yang pertama kalinya sepanjang sejarah dalam hidupku yang
paling mengesankan karena dirayakan dengan meriah oleh semua orang. Siapa
sangka Zahra seorang anak beasiswa dari keluarga prasejahtera sangat disayangi oleh teman-temanya walaupun
sering merasa dikucilkan oleh teman-temannya.
“ Zahra, kenapa
kamu senyum-senyum sendiri sambil memandangi kaca mobil?” Tanya kak Hanafi.
“ Tidak apa-apa
kak, aku hanya berpikir tentang diriku.” Jawabku sambil tersenyum malu.
“Dasar cewek
aneh.”Sahut kak Hanafi dengan nada pelan.
“ Apa kak?”
tanyaku pelan.
“Tidak ada
apa-apa, aku hanya berbicara sendiri.”Jawabnya tanpa ekspresi.
Di sepanjang
perjalanan kami hanya bercanda-canda layaknya seorang kakak dan adik.Tidak
terasa waktu telah menunjukkan pukul 2 siang dan kami telah sampai di pameran
“Budaya Anak Sriwijaya” yang di selenggarakan di Benteng Kuto Besak. Sambil
menikmati pemandangan yang indah dari gelombang damai sungai Musi, ketek-ketek
yang berhalu-lalang hilir mudik di atasnya, dan pancaran pesona indah jembatan
Ampera membuat kami tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengabadikannya
lewat potretan kamera dari handycam yang
selalu dibawa oleh bu Dila ketika traveling. Setelah itu, kami menyaksikan
persembahan Dul Muluk asli Pemulutan dan beberapa tarian adat asal Sumatera
Selatan seperti tari Tanggai asal Palembang, Tari beras pegagan asal Ogan Ilir,
dan tari Bedana asal OKU Selatan sambil menikmati suguhan pempek, tekwan, dan
makanan khas Palembang lainnya dalam satu meja.
Tanpa disadari
tiga jam pun telah berlalu, kami segera pulang dengan membawa beberapa
cenderamata untuk ku berikan kepada kedua adikku. Ibu Dila dan kak Hanafi pun
mengantarku sampai ke rumah dan mereka berniat untuk bertandang sebentar dalam
rangka mempererat tali silaturahmi.
“Assalamualaikum
bu, ini ibu Dila pemilik toko tempatku bekerja dan kak Hanafi anaknya.” Kataku
tanpa berpikir panjang.
“Waalaikumsalam,
Apa maksudmu dengan mengatakan tempat bekerja?” tanya ibuku dengan nada yang
agak tinggi.
Terpaksa ku
jelaskan semua kebohonganku kepada ibuku di depan kak Hanafi dan ibu Dila.
Untung saja kemarahan ibuku segera reda dan ia menyuruhku untuk segera mandi
dan membantunya mempersiapkan hidangan makan malam. Namun, ibu Dila tidak bisa
makan malam disini karena ada urusan penting di rumahnya. Kemudian mereka
berpamitan untuk pulang.
Setelah makan
malam, ibu ingin berbicara empat mata saja denganku di kamar. Aku pun dengan
senang hati menyetujuinya.
“Zahra, ibu tahu
kamu sudah besar dan ingin membantu ibu untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Namun, cukuplah ibu saja yang bertanggung jawab atas semua ini karena tugamu
hanyalah belajar agar kelak nasibmu tidak sama seperti ibu.” Ucap ibu sambil
menangis.
“Tapi bu, aku
merasa kasihan karena ibu rela banting tulang dan bahkan berhutang kesana
kemari hanya untuk kami bertiga.” Jawabku dengan tersedu-sedu.
“Jika kita
percaya bahwa Allah selalu bersama kita, maka Dia akan memberikan jalan bagi
kita. Jadi, ibu minta kamu untuk berhenti bekerja!” Jawab ibu membujuk pelan.
“ Baiklah bu,
tetapi aku hanya ingin bekerja dua minggu lagi saja untuk menggenapkan masa
bekerjaku sellama satu bulan.” Pintaku sambil berharap.
“Iya sudah ibu
terima, tapi setelah dua minggu kamu harus kembali menjadi Zahra seperti Zahra
yang ibu kenal, oke!”
“oke bu, selamat
malam.” Jawabku sambil menuju ke kasur untuk tidur.
Setelah satu jam
aku berusaha untuk tidur tetapi mataku rasanya enggan untuk terpejam. Segera
aku bangkit dan mengambil semua kado yang telah aku dapatkan seharian ini.
Betapa terkejutnya aku ketika membuka sebuah kado misterius yang aku temukan
tadi pagi. Sebuah novel yang berjudul Allah
is Always Blessing Us dan handphone android
berwarna putih terbungkus rapi di balik kotak berbentuk prisma segi lima
bersama sepucuk surat yang melekat pada satu sisinya lalu Ku tarik pelan surat
itu dan membacanya. Isinya berisikan doa serta harapan yang biasa diberikan
oleh semua orang. Namun, ada satu kalimat yang ditanda kutipkan dan masih
terngiang-ngiang dipikiranku sampai saat ini. Kalimat itu berbunyi seperti ini:
“Jangan pernah lukai hati ibumu karena ridha
Allah terletak pada ridha orang tuamu dan cintailah Allah melebihi cintamu
kepada siapapun.”
Dan yang membuat
aku semakin terkejut adalah ketika sebuah kalimat yang menyatakan bahwa kado
ini dari seseorang yang aku kenal yaitu kak Hanafi. Aku langsung segera
membereskan semua barang itu dan langsung merebahkan tubuhku ke atas kasur dengan perasaan gelisah karena aku
takut hal ini akan mendekatkanku pada zina.
***
Keesokan harinya setelah
pulang sekolah aku langsung menemui kak Hanafi dan berniat untuk mengembalikan
semua barang itu.
“Assalamualaikum
kak, Zahra ingin mengembalikan semua barang ini karena Zahra pikir ini terlalu
mahal dan tidak pantas bagiku untuk memilikinya.” Kataku dengan menunduk.
Tetapi, ia hanya tersenyum dan berkata, “aku akan sedih jika kamu menolaknya
karena kamu sudah aku anggap sebagai adik kandungku sendiri. Jika kamu merasa
malu karena semua itu dariku, maka anggaplah itu sebagai hadiah dari umiku
karena dialah yang memilihkan itu untukmu.”
Aku pun terdiam
dan berpikirbahwa jika aku menolak pemberian ibu Dila maka sama saja aku
menolak pemberian dari ibuku. Aku pun menarik kembali barang-barang itu karena
aku tidak mau menyakiti hati seorang ibu yang telah baik kepadaku.
Selama di
perjalanan aku hanya diam tanpa berbicara satu kata pun. Namun,ketika telah sampai
di toko aku langsung berbicara kepada ibu Dila mengenai surat pengunduran
diriku yang menyatakan bahwa aku akan bekerja hanya selama dua minggu kedepan
setelah menerima gaji pertamaku. Dengan berat hati, ibu Dila menerimanya karena
ia tahu bahwa ibuku yang memintanya.
***
Setelah dua
minggu berlalu, aku menerima gaji pertamaku sebesar satu juta rupiah dan aku
berikan semuanya pada ibuku untuk segera melunasi hutangnya pada bank. Hari demi hari pun kulalui seperti biasa
bersama Ali dan Syifa hingga tidak terasa satu tahun pun telah berlalu. Kami
naik ke kelas sebelas dan kak Hanafi akan menghadapi UN dan SNMPTN pada tahun
ini. Meskipun kami tahu jika kak Hanafi akan berjuang untuk melanjutkan
pendidikannya di Al Azhar kami tetap mengganggunya dengan bertanya-tanya
mengenai soal-soal olimpiade yang diberikan oleh ibu Lena. Respon yang diberikan
kak Hanafi pun juga positif tentang kami karena ia juga tahu kalo nantinya kami
akan menyusulnya ke Mesir.
Sesampainya di sekolah ketika jam istirahat tiba,
kami bertiga segera pergi ke taman dan mencari informasi mengenai Al Azhar.
Kami pun membuka situs-situs yang berhubungan dengan persyaratan penerimaan
siswa baru asal Indonesia yang bisa diberangkatkan ke Mesir tahun ini. Alangkah
bahagianya kami ketika mengetahui bahwa Indonesia mengeluarkan kebijakan baru
yang menyatakan bahwa siswa kelas sebelas dan dua belas boleh mengikuti seleksi
dengan syarat berusia enam belas tahun ke atas.
Megetahui hal ini, kami segera
menuju ke kelas kak Hanafi untuk mengabari berita ini dan membuat jadwal
belajar bersama untuk persiapan seleksi Al Azhar ini. Kak Hanafi hanya menurut
saja terhadap apa yang
telah kami rencanakan dan segera kembali ke kelas untuk belajar. Pendaftaran ini pun akan dibuka bulan
depan tepatnya pada minggu ketiga di bulan Ramadhan. Oleh karena itu kami
melakukan persiapan satu bulan sebelum tes penerimaan siswa baru berlangsung.
Karena jadwal yang kami miliki sangat padat, kami akan mengadakan pelajaran
tambahan untuk bahasa arab dan kajian Al-quran hanya dua kali dalam satu minggu
bersama uminya Syifa.
Semua
persiapan pun telah kami lakukan dengan matang demi menjadi siswa dari salah
satu universitas islam ternama di Dunia.Kami mempersiapkan dokumen yang ingin
kami kirimkan mulai dari dua minggu sebelum pendaftaran.Kak Hanafi telah
menghafal 5 juz Al quran.Ali dan Syifa telah khatam 15 juz Al quran, sedangkan
aku hanya bisa menghapal 3 juz Al quran selam dua tahunan ini.
Waktu
terus bergulir bagaikan air sungai yang mengikuti arus tanpa jeda dan
menghantam bebatuan yang berada di hadapannya. Tidak terasa besok adalah hari pengumpulan dokumen. Pada
saat kami ingin pergi ke rumah Syifa, tiba-tiba suara mobil datang dari depan
dan ternyata itu adalah ayah Ali yang mengatakan bahwa Ali tidak akan mengikuti
seleksi karena ia telah mendapatkan beasiswa penuh dari Oxford University. Ali mendapatkannya pada saat ia berhasil
mendapatkan medali emas pada acara Young
Scientist di London dua hari yang lalu.
Sekarang
tinggal kami bertigalah yang harus berjuang menggapai cita-cita yang yang telah
lama kami idamkan. Saat detik-detik seperti inilah semua orang akan membuktikan
perjuangan mereka dan hanya orang yang terpilihlah akan memetik hasilnya.
Tut…tut…tuttttt!
Dering teleponku pun berbunyi dengan keras dan bergetar di saku rok ku. Aku merasa takut untuk mengangkatnya karena
nomor resmi yang tertera di dalamnya. Aku kira itu telepon dari sekolah tetapi
percaya atau tidak, itu adalah telepon dari salah satu dosen dari Al Azhar yang
mengatakan bahwa aku akan diloloskan langsung tanpa harus melewati tahap
selanjutnya. Aku langsung berteriak memanggil ibuku untuk memberitahunya. Ia
pun meneteskan air mata terharunya dan langsung memeluk erat diriku sambil
berbisik, “ Inilah hasil perjuanganmu yang ingin kau buktikan pada semua orang
bahwa keterbatasan ekonomi tidak akan menghalangi seorang untuk mengejar
cita-cita. Namun, keterbatasan usahalah yang akan membuatmu kalah dalam
pertarungan.”
“Alhamdulillah
bu, tetapi persyaratan untuk bersekolah disana harus membawa mahram.Tetapi,
jika aku mengajak ibu bagaimana dengan nasib jalil dan janah? Apakah aku harus
menikah muda? Aku bingung bu atas keputusan yang akan aku ambil.”
“Lebih
baik kamu salat istiharat nanti malam
karena hanya Allah lah yang mengetahui jawaban atas kebimbanganmu ini.” Jawab ibuku.Aku
pun segera tidur dan berniat untuk salat tahajud
dan salat istiharah ketika bangun dan
berharap Allah langsung menjawab semua kebimbanganku.
Keesokan
harinya aku sangat terkejud dan langsung berteriak dari atas kasur,
“tidakkkkkk! Aku tidak ingin menikah muda.”
Semua
orang pun langsung berkumpul di kamarku dan bertanya apa yang terjadi sehingga
aku berteriak setelah bangun tidur.
“Ibu,
setelah aku salat istiharat dan
langsung bermimpi tentang kak Hanafi. Di dalam mimpiku ia juga berhasil
melewati semua tes dan akan melanjutkan sekolahnya di Kairo.” Kataku ketakutan.
“ohh,,,,,
tenang saja. jika memang itu jalan yang terbaik bagimu maka ibu akan setuju.
Lebih baik kamu segera mandi sekarang nanti kamu terlambat ke sekolah.”
“
Baik bu.” Jawabku langsung menuju ke kamar mandi.Setelah itu aku langsung
menuju ke sekolah menggunakan bus langgananku.
Setibanya
di sekolah, kak Hanafi dan Syifa langsung menemuiku dan berkata bahwa mereka
semua lulus ke tahap selanjutnya dan akan pergike Jakarta minggu depan. Aku pun
ikut senang mendengar hal itu tetapi sikapku tidak seperti biasanya terhadap
mereka karena kejadian yang telah menimpaku semalam.Ingin rasanya aku bercerita
dengan mereka tetapi aku malu untuk mengatakannya. Sampai akhirnya, kuputuskan
bahwa aku akan bercerita. Namun, setelah pengumuman akhir Al Azhar itu keluar dan
aku akan berusaha bersikap seperti biasanya.
Hari
demi hari kami jalani dengan hal yang tidak biasa. Sekarang kami terlalu sering
melakukan percakapan dengan berbahasa arab dan mengkaji Al quran untuk
menghadapi tes tafsir al quran nantinya. Hingga tiba saatnya pengumuman seribu
finalis yang akan dikirim ke kairo tahun ini. Namaku berada di urutan ke-71,
Syifa berada di urutan ke-22, dan nama kak Hanafi belum terlihat sampai lembar
terakhir dari pengumuman itu. Ia pun
langsung segera pergi meninggalkan laptopnya dengan wajah yang agak murung dan
langsung menuju ke kelas dengan alasan ada kerja kelompok. Kami tau perasaannya
dan mencoba untuk menghibur. Namun, ia tidak ingin diganggu oleh siapa pun
sehingga kami tidak berani untuk mendekatinya.
Bulan
depan adalah hari keberangkatanku menuju tanah arab untuk menuntut ilmu. Namun,
hingga saat ini aku masih memikirkan mimpiku pada malam itu.Kemudian aku pun
bertanya lagi kepada ibuku mengenai hal ini. Lalu ia mengatakan bahwa bu Dila
telah datang pada hari jumat kemarin.
“Kenapa ibu Dila datang bu?” tanyaku
balik
“ Ia datang untuk melamarmu karena
Hanafi juga dinyatakan lulus lewat jalur beasiswa sepertimu. Namun, pihak Al
Azhar lupa untuk memasukkan namanya pada lembar pengumuman tersebut .”
Aku
pun terdiam dan tidak bisa berbuat apapun karena pernikahanku akan dilaksanakan
3 hari sebelum keberangkatan kami. Setelah
itu, kami langsung membeli rumah di mesir untuk menjadi tempat tinggal kami selama
kuliah di Kairo. Awalnya aku menolak untuk menikah muda tetapi ibuku berkata, “Menikah
adalah tanda ketakwaan seorang hamba kepada Tuhannya. Sebenarnya pernikahan itu
berawal dari ta’aruf (saling
mengenal), berlanjut dengan akad nikah, dan berakhir dengan pertemuan di surga
, sungguh indah rasanya pernikahan.”
Setelah
mendengar hal itu, aku bersedia untuk menikah hanya untuk mengharapkan rida
dari Allah swt. Karena pernikahan dengan tujuan akhirat akan melahirkan
pernikahan keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah. Tidak ada
yang menyangka jika aku dipertemukan dengan jodohku begitu cepat dan Allah
memberikanku seorang suami yang tampan, sholeh, cerdas, dan berwibawa. Setelah
kami lulus kuliah, kak Hanafi langsung direkrut oleh sebuah perusahaan besar di
Arab Saudi. Aku memilih untuk tidak bekerja karena suamiku yang memintanya.
Sesungguhnya, ketakwaan seorang istri diukur dari ketaatanya kepada sang suami.
Percayalah bahwa wanita yang baik itu hanya untuk laki-laki yang baik dan
laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik juga. Maka jangan pernah takut
untuk menikah karena itu termasuk amal ibadah.
***
Komentar
Posting Komentar