Langsung ke konten utama

Teks Cerita Sejarah Pribadi


Penantian yang Berakhir Indah
Karya: Nur Zahwa
 Hidup bagaikan topeng yang menabirkan ­­sejuta tanya dalam kepalsuan. Melukiskan cerita dalam goresan kisah. Dan dalam diam menantikan akhir yang indah.“
Itulah sepenggal paragraf yang terus terngiang-ngiang dalam kepala seorang gadis manis sejak dia membaca sebuah novel  inspirasi di kamarnya 3 tahun lalu. Nur Zahwa, gadis berdarah Palembang yang lahir pada tanggal 22 Agustus 2001 merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Melalui lika-liku kehidupan yang cukup berat sejak perceraian kedua orang tuanya. Hidup terluntah-luntah bagaikan bola yang dioper dari satu pemain ke pemain lain. Setahun pertama, ayahnya yang mengasuhnya dan tahun berikutnya dikembalikan lagi kepada ibunya hingga sekarang. Berkumpul bersama kedua adiknya yang telah konsisten sejak awal berada di sisi ibunya.
Hari itu langit sedang cerah dan awan berkelut indah memaparkan mentari yang begitu hangat. Burung-burung berkicau ria terbang menembus embun yang sedang menguap. Air sungai yang berarak mengalir ikut menghiasi pemandangan di pekarangan rumahku. Beginilah kehidupanku pergi merantau ke luar desa menuju kecamatan demi menimba ilmu. Berani mengambil resiko dan siap menghadapi berbagai tantangan itulah prinsipku. Kulangkahkan kaki menuju jalan raya untuk menunggu angkutan yang biasa aku naiki menuju sekolahku. Bus Indralaya-Palembang lah mobil setia yang selalu menghampiriku ketika waktu sudah vertikal di jam tanganku. Namun, tidak tahu kenapa temanku itu tak kunjung datang. Sudah sekitar tiga puluh menit aku menunggu dan ini merupakan tanda-tanda akan terlambatnya kedatanganku. Segala cara harus kupikirkan agar dapat sampai ke sekolah tepat waktu hingga kulihat seseorang dari kejauhan memperlambat kecepatan motornya dan datang mendekat kepadaku. Akhirnya aku mendapatkan tumpangan dan menapakkan kaki tepat ketika bel masuk berbunyi.  
Aku pun masuk menuju ke kelas terujung yang berada di sudut dimensi sekolah. Tanpa disadari ibu Maysarah sudah berada di dalam kelas dan tengah memberikan materi mengenai fungsi eksponen. Kakiku gemetar dan rasa cemas menyelubungiku karena ketakutan untuk berbicara atas keterlambatanku. Namun, ibu Maysarah menyadari bahwa aku sedang berada di depan kelas dan langsung menghampiriku. “Zahwa, kenapa kamu berdiri di luar?” tanyanya. Aku pun kemudian menjawab dengan terbata-bata, “Saya minta maaf bu karena datang terlambat dan saya takut untuk masuk ke kelas.” Ibu May pun memberikanku izin masuk dan menyuruhku untuk mengikuti proses pembelajaran bersama yang lainnya. Namun, setelah pulang sekolah aku harus menemui ibu may di kantornya untuk mendapatkan hukuman.
Ketika bel istirahat berbunyi, aku pun bergegas keluar dengan membawa sebuah buku dan duduk di bawah pohon bersama kedua orang temanku. Kami selalu mendiskusikan materi-materi yang telah dipelajari ataupun yang akan dipelajari nantinya. Mungkin hanya aku saja yang selalu menolak jika diajak teman-temanku menuju ke kantin karena uang yang selalu berada di kantongku hanya cukup untuk ongkos pulang. Namun, semua temanku selalu membantu dan memotivasi diriku jika sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk.
Setiap pulang sekolah, aku akan singgah terlebih dahulu ke pasar Indralaya untuk membeli barang-barang perlengkapan warung ibuku. Mungkin hanya itulah yang saat ini bisa kulakukan untuk membantu mengurangi beban finansial keluargaku. Setelah asar berkumandang, aku langsung menuju masjid terdekat. Kemudian melanjutkan perjalananku menuju warnet untuk nenyelesaikan tugas-tugas di sekolahku. Ketika waktu menunjukkan pukul 17.00 barulah aku beranjak pulang ke rumah.
Hari-hari yang kulalui sama saja tidak ada perubahan hingga akhirnya tiga tahun pun berlalu. Inilah akhir kisah putih biruku, semua orang tengah sibuk mempersiapkan diri untuk masuk ke jenjang SMA. Aku selalu berpikir, haruskah ku lanjutkan pendidikanku? Kasihan ibuku yang harus membanting tulang setiap harinya untuk mencukupi kebutuhan kami bertiga. Tetapi, ibuku selalu berkata bahwa anak-anaknya harus menjadi orang yang sukses agar kehidupan mereka tidak sama seperti orang tuanya. Oleh sebab itu, aku bertekad kuat untuk tidak menyia-nyiakan perjuangan ibuku.
Pada suatu hari mukjizat pun datang, dua orang temanku mengajakku untuk mendaftar di sebuah sekolah milik pemerintah. Sekolah ini memberikan beasiswa bagi anak berprestasi yang memiliki kondisi ekonomi menengah ke bawah. Dengan semangat yang menggebu, kuikuti proses seleksi dari tahap ke tahap. Mulai dari tahap dokumen, tes tertulis hingga tes wawancara.
Berbulan-bulan lamanya menunggu hasil pengumuman hingga semua pintu sekolah pun terbuka. Untuk berjaga-jaga atas ketidakpastian ini, aku lepaskan PNPA dan mengikuti seleksi di SMA Negeri 1 Indralaya melalui jalur tes. Siapa sangka ternyata namaku berada di posisi kedua setelah nama M Shiqo Fila. Shiqo juga merupakan salah satu siswa yang mendaftar di SMAN Sumsel juga. Harapan beasiswa itu mulai pupus dalam benakku. Akhirnya proses daftar ulang pun harus jalani untuk berjaga-jaga jika tidak lulus dari sekolah pemerintah itu.
Akhir kisah putih biru yang sangat berat karena berbagai cobaan datang bertubi-tubi. Dua hari setelah daftar ulang, rumahku roboh tinggal tiang. Kemudian uang ibuku sebesar sepuluh juta sebagai cadangan biaya kuliahku habis untuk membayar hutang yang telah digunakan untuk membangun rumah kecil sebagai tempat bertahan hidup kami. Begitulah hidupku menantikan sebuah akhir yang indah hanya dengan berusaha ikhtiar serta tawakal.
Tiba-tiba terdengar suara mengetuk pintu dari luar dan betapa terkejutnya aku melihat dua orang bapak guru utusan SMAN Sumsel datang menyurvei rumahku. Cahaya datang bagaikan ilham mengembalikan semangat besarku. Mungkin inilah jawaban semua doa-doa yang selama ini selalu aku panjatkan kepada Allah swt.  Aku sangat berharap semoga inilah jalan terbaik yang telah disiapkan tuhan untuk diriku. Sampai pada akhirnya, aku memiliki status sebagai siswa SMAN Sumatera Selatan. Sejak saat itu aku mulai tersadar bahwa setiap penantian yang disertai usaha dan doa akan berbuah manis dan kelak akan kau petik untuk orang tuamu.





­



Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Long-Distance Love, Written by Allah

Every great story begins with something small—an encounter, a message, or even a shared screen. Ours began quietly too, not with fireworks, but with formulas and Zoom meetings. It was 2021, and I was enrolled in a Differential Equations class at Universitas Sriwijaya. Everything was held online due to the pandemic, and that’s when I first saw his name pop up—Khairu Agus Wijaya, a calm and focused student from Merauke, Papua, who was joining through the Merdeka Student Exchange Program (PMM). We weren’t the only ones with cameras on, and there were no breakout rooms, but there were small-group discussions that consisted of four people. But somehow, amidst the grid of faces and silence between lectures, we began to notice each other. Our first interaction wasn’t even in Indonesian—it was in Mandarin, a language we both happened to be learning. That small spark led us to chat more through the class WhatsApp group. We began exchanging ideas about assignments, encouraging each other before...

To XB AIS Class: A Letter From Your Grateful Teacher

As my days at SMA IT Raudhatul Ulum come to an end, I find myself overwhelmed with gratitude, love, and—above all—deep sadness. Resigning from a place that has given me so much is not easy. But what makes it even harder is saying goodbye to a group of students who have left a permanent mark on my heart: XB AIS Class . This class wasn’t just a teaching assignment. It became a safe space, a little home inside the school walls. I still remember my first day with them. I didn’t know yet how close we would become, how they would end up becoming the most beautiful part of my journey in this school. These students—my students—taught me that love can be expressed in countless ways, even in a teacher-student relationship. Though I am older, and though I am supposed to be the one nurturing them, they were the ones who showed me love every day . Some of them encouraged me with kind words, always knowing the right thing to say when I looked tired or overwhelmed. Some gave me gifts—small, thou...

Cerpen: Ikatan Takdir Al Azhar

Study or Married Ikatan Takdir Al Azhar                 “ Ini secercah kisah kehidupanku yang penuh akan lika-liku alur perjalanan dari titik awal hingga ke akhir. Aku menemukan berbagai   rambu-rambu di setiap persimpang a n. Ketika waktunya untuk berhenti, aku akan mencoba untuk berhenti. Di saat aku harus memutar arah ke belakang, maka aku akan melihat masa lalu yang hampir sirna atau bahkan masih terngiang-ngiang di kepalaku dan sekejab akan menikung untuk menghindari tabrakan beruntun di sepanjang tol. Semua orang tidak akan tahu tentang nasib yang akan menyelimuti setiap waktu di sepanjang rute perjalanan umurnya. Kisahku dan kisahmu akan saling berhubungan.” Mungkin hanya itulah sepenggal paragraf yang masih ku ingat saat kita membaca sebuah novel bersama dikala putih abu-abu masih menjadi identitas kita dan toko muslim menjadi vila yang nyaman untuk persinggahan sehabis pulang sekolah. ...