Langsung ke konten utama

Cerita Pribadi Singkat


Assalamualaikum Readers!!!! Pada postingan kali ini saya akan menceritakan kisah hidup singkat mengenai perjalanan hidupku. Semoga memotivasi dan menikmati ceritanya ya!!!!!!!!


Perjuangan yang Tak Pernah Padam
Karya : Nur Zahwa

Ini secercah kisah kehidupanku yang penuh akan lika-liku alur perjalanan dari titik awal hingga ke akhir. Aku menemukan berbagai  rambu-rambu di setiap persimpangan. Ketika waktunya untuk berhenti, Aku akan mencoba untuk berhenti. Di saat Aku harus memutar arah ke belakang, maka Aku akan melihat masa lalu yang hampir sirna atau bahkan masih terngiang-ngiang di kepalAku dan sekejab akan menikung untuk menghindari tabrakan beruntun di sepanjang tol. Semua orang tidak akan tahu tentang nasib yang akan menyelimuti setiap waktu di sepanjang rute perjalanan umurnya. Kisahku dan kisahmu akan saling berhubungan.” Mungkin hanya itulah sepenggal paragraf yang dapat mengkiaskan kisah hidupku. Semua berawal dari kesenangan, kebahagiaan, kasih sayang, dan perhatian. Namun, semua sirna tanpa bekas bagai fosil yang terendap dalam perut bumi yang telah terurai sehingga tidak jelas lagi keberadaannya. Tetapi, menyisahkan kenangan-kenangan indah sepuluh tahun silam.
***
Perkenalkan namaku Nur Zahwa, akrab disapa Zahwa. Anak pertama dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Musmulyadi dan Ibu Bahriah. Ketika masih kecil hidupku penuh dengan kemewahan mulai dari mainan, kasih sayang, dan perhatian semuanya bisa Aku dapatkan. Dari kecil Aku sudah ditanamkan ilmu agama secara mendalam. Mulai dari menempuh taman kanak-kanak di pondok pesantren, program hafiz al-quran, dan berpuasa penuh di usia dini. Namun, Aku harus berpindah haluan dan melanjutkan pendidikan di salah satu Sekolah Dasar Negeri Batam, mengikuti orang tua yang merantau ke seberang pulau. Namun siapa sangka keluarga yang kulihat harmonis tiba-tiba tengah menghadapi ambang kehancuran. Di usiaku yang menginjak 8 tahun kedua orang tuaku resmi bercerai karena ayahku lebih memilih untuk menikah lagi. Semua keputusan itu mungkin membuatku terpukul, tetapi para orang tua hanya melihat kami masih terlalu kecil untuk mengerti. Ibuku harus kembali ke Palembang bersama kedua adikku sedangkan Aku harus menyelesaikan ujian akhir semesterku agar dapat ikut Ibu kembali ke Palembang. Jadi, Aku harus tinggal bersama ayah dan Ibu tiriku selama satu tahun. Sejak saat itu, mungkin kepribadianku berubah drastis. Zahwa yang dulu periang dan cerewet sekarang menjadi Zahwa yang pendiam dan takut untuk berbicara karena cukup tertekan.
Satu tahun berlalu, Akupun pulang ke Palembang bersama nenek dari ayahku untuk diantar pulang ke rumah nenek dari Ibuku. Aku memutuskan untuk tinggal bersama Ibu dan kedua adik kandungku. Ibu ku merupakan wanita yang tangguh dan pekerja keras  serta pantang menyerah. Ia rela banting tulang siang malam demi mencukupi semua kebuTuhan biaya hidup kami. Bahkan, ia rela meminjam uang di bank dengan bunga 6% per bulan untuk modal membuka usaha kecil-kecilan. Kami tinggal bersama nenek di sebuah desa yang letaknya agak jauh dari kota.
Tidak terasa waktupun cepat berlalu, setelah lulus SD Aku langsung melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Indralaya yang letaknya berada di kecamatan. Setiap hari pun Aku harus menempuh perjalanan menggunakan bus kota untuk menghemat pengeluaran ongkos. Seringkali  terbesitlah sebuah pemikiran untuk mencari beasiswa agar dapat melanjutkan pendidikan namun tidak membebani perekonomian keluarga. Sayangnya, tidak ada satupun beasiswa di SMP tempatku bersekolah. Tidak tahu lagi berapa banyak keringat yang diperas Ibuku untuk menyekolahkan kami bertiga, tidak tahu berapa banyak air mata yang telah pecah berdoa kepada sang kuasa. Namun, kami percaya bahwa rencana Tuhan akan indah pada waktunya. Selama tiga tahun, Aku berusaha bersaing agar dapat mengikuti program beasiswa di SMA.
Siapa sangka Tuhan menjawab doaku begitu cepat, Aku diterima di SMAN Sumatera Selatan dengan beasiswa penuh selama 3 tahun. Semua biaya keperluan sekolahku ditanggung pemerintah sehingga beban perekonomian keluargaku dapat sedikit berkurang. Selama itupun Aku harus tinggal di asrama agar dapat lebih fokus dalam belajar. Sebagai anak asrama tentu saja banyak kegiatan yang harus dilakukan dalam keseharian. Oleh sebab itu, kami dituntut untuk dapat menyeimbangkan akademik dan serangkaian kegiatan asrama serta organisasi yang diikuti agar kelak kami dapat menjadi pemimpin indonesia di masa depan. Pergi ke sekolah ketika matahari belum terbit sempurna dan pulang sekolah ketika matahari sudah terbenam. Yah begitulah keseharianku. Ditambah lagi dengan program belajar malam yang diwajibkan sampai jam 10 malam, terkadang belum cukup sehingga kami harus menambah lagi jam belajar hingga larut malam. Memang semua kesuksesan butuh perjuangan. Tidak mudah untuk mencapai hal yang besar. Kulewatkan masa remajaku dengan belajar yang giat tanpa sempat untuk berfoya-foya yang tidak ada untungnya.
Pada akhirnya semua yang telah ku perjuangkan tidak sia-sia. Di penghujung masa SMA ku Aku mendapatkan nilai tertinggi UNBK di bidang Bahasa Indonesia dan menjadi top 5 nilai UNBK tertinggi di angkatan. Awalnya Aku mengikuti seleksi untuk masuk PTN melalui jalur SNMPTN, namun Tuhan berkehendak lain. Sehingga Aku harus masih berjuang di jalur SBMPTN dengan mengikuti UTBK selama 2 kali tes. Alhamdulillah, Aku mendapatkan FKIP Pendidikan Matematika di Universitas Sriwijaya dan lulus pada pilihan pertama. Dan bersyukurnya lagi Aku mendapatkan Bidikmisi sehingga dapat meringankan beban perekonomian keluargaku.
“Tidak ada usaha yang sia-sia jika kita mempunyai semangat dan tekad yang kuat. Biaya bukan menjadi penghalang untuk menuju kesuksesan. Namun, diri kita sendirilah yang dapat menentukan pilihan dimana kita harus menempatkan diri untuk menjadi seseorang yang sukses.”

Mathedu’19

Komentar

  1. Bangga bacanya, Wa. Semangat terus ke depan. Selalu ikuti rambu-rambu. Ukhti, احبك فى الله

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Long-Distance Love, Written by Allah

Every great story begins with something small—an encounter, a message, or even a shared screen. Ours began quietly too, not with fireworks, but with formulas and Zoom meetings. It was 2021, and I was enrolled in a Differential Equations class at Universitas Sriwijaya. Everything was held online due to the pandemic, and that’s when I first saw his name pop up—Khairu Agus Wijaya, a calm and focused student from Merauke, Papua, who was joining through the Merdeka Student Exchange Program (PMM). We weren’t the only ones with cameras on, and there were no breakout rooms, but there were small-group discussions that consisted of four people. But somehow, amidst the grid of faces and silence between lectures, we began to notice each other. Our first interaction wasn’t even in Indonesian—it was in Mandarin, a language we both happened to be learning. That small spark led us to chat more through the class WhatsApp group. We began exchanging ideas about assignments, encouraging each other before...

Cerpen: Ikatan Takdir Al Azhar

Study or Married Ikatan Takdir Al Azhar                 “ Ini secercah kisah kehidupanku yang penuh akan lika-liku alur perjalanan dari titik awal hingga ke akhir. Aku menemukan berbagai   rambu-rambu di setiap persimpang a n. Ketika waktunya untuk berhenti, aku akan mencoba untuk berhenti. Di saat aku harus memutar arah ke belakang, maka aku akan melihat masa lalu yang hampir sirna atau bahkan masih terngiang-ngiang di kepalaku dan sekejab akan menikung untuk menghindari tabrakan beruntun di sepanjang tol. Semua orang tidak akan tahu tentang nasib yang akan menyelimuti setiap waktu di sepanjang rute perjalanan umurnya. Kisahku dan kisahmu akan saling berhubungan.” Mungkin hanya itulah sepenggal paragraf yang masih ku ingat saat kita membaca sebuah novel bersama dikala putih abu-abu masih menjadi identitas kita dan toko muslim menjadi vila yang nyaman untuk persinggahan sehabis pulang sekolah. ...

To XB AIS Class: A Letter From Your Grateful Teacher

As my days at SMA IT Raudhatul Ulum come to an end, I find myself overwhelmed with gratitude, love, and—above all—deep sadness. Resigning from a place that has given me so much is not easy. But what makes it even harder is saying goodbye to a group of students who have left a permanent mark on my heart: XB AIS Class . This class wasn’t just a teaching assignment. It became a safe space, a little home inside the school walls. I still remember my first day with them. I didn’t know yet how close we would become, how they would end up becoming the most beautiful part of my journey in this school. These students—my students—taught me that love can be expressed in countless ways, even in a teacher-student relationship. Though I am older, and though I am supposed to be the one nurturing them, they were the ones who showed me love every day . Some of them encouraged me with kind words, always knowing the right thing to say when I looked tired or overwhelmed. Some gave me gifts—small, thou...