Langsung ke konten utama

Membawa Misi untuk Tanjung Agung Berliterasi

    

Potret keseruan menjadi Teman Belajar

        Halo semuanya, perkenalkan aku Nur Zahwa. Semua orang disini memanggilku Wawa. Aku merupakan salah satu dari lima Teman Belajar (TB) Gernas Tastaba yang ditugaskan di Kecamatan Tanjung Agung. Menjadi seorang TB adalah suatu tugas yang bisa dibilang memegang tanggung jawab yang besar dengan visi memberantas buta membaca di daerah Kabupaten Muara Enim. Hidup berbulan-bulan di pelosok desa dan berkontribusi untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Mendampingi puluhan guru dari 14 sekolah dalam mengimplementasikan hasil pelatihan yang telah didapat dan ikut andil dalam pembelajaran di kelas. Mulai dari melaksanakan Tes EGRA (Early Grade Reading Assessment), memberikan kelas intervensi, implementasi RPP membaca seperti pesan pagi, visualisasi teks, read aloud, question and answer (QAR), text to text, fonik, dan fonologi. 

        Saat ini aku diamanahkan untuk memegang dua sekolah yaitu SDN 10 Tanjung Agung (di Desa Pagar Dewa) dan SDN 14 Tanjung Agung (di Desa Tanjung Bulan) untuk mendampingi 6 guru. Desa Pagar Dewa bagiku seperti surga alam yang belum pernah kulihat. Hamparan sawah luas membentang, aliran sungai jernih, rumah-rumah penduduk, dan pemandangan perbukitan hijau akan selalu mengiringi sepanjang jalan desa. Yaps, yang pastinya ada satu sekolah dasar yang menjadi tempatku bertugas selama program yaitu SD Negeri 10 Tanjung Agung. Bu Widawati dan Bu Elwi Sahara adalah dua guru P3K yang masih bersemangat untuk belajar. Bu Wida mengajar di kelas 5B dengan belasan siswa sedangkan Bu Elwi di kelas 6 dengan 30an siswa. Latar belakang pendidikan Bu Wida dan Bu Elwi adalah Pendidikan Bahasa Indonesia sehingga masih selaras dan tidak asing dengan literasi yang menjadi fokus program Gernas Tastaba ini.  Selama kegiatan pendampingan 1, kedua guru ini saling berkolaborasi dalam pengambilan data EGRA di kelas yang diajarkan sehingga dapat memahami proses menjadi instruktur dan asesor. Ternyata masih ada beberapa siswa di kelas tinggi yang belum lancar membaca. Hal ini didiagnosis kurang dalam hal yang beragam. Di kelas 5B hampir secara keseluruhan kurang dalam hal kelancaran dan pemahaman isi teks bacaan serta 2 orang siswa yang masih belum bisa membaca. Hasil yang sama pun juga ditunjukkan pada kelas 6 bahwa ada 2 orang siswa yang masih sering tertukar huruf alfabet sehingga menyebabkan siswa tersebut terkendala dalam membaca beberapa kata.  

Pada saat pendampingan 2 dimana guru diharapkan dapat mengimplementasikan RPP yang telah dirancang oleh tim Gernas Tastaba. Bu Wida memilih untuk mengimplementasikan RPP text to text di kelasnya dengan menggunakan dua teks yang berbeda yaitu tentang “Siklus Air” dan “Kekurangan Air Bersih”. Kegiatan implementasi strategi ini terlihat kurang interaktif karena siswa masih takut salah dalam mengemukakan pendapat dan teks yang diberikan terlihat sulit untuk dipahami oleh siswa. Beberapa siswa yang masih belum lancar membaca juga sulit untuk mengikuti kegiatan pembelajaran yang terlalu terpaku dengan teks. Berbeda halnya dengan apa yang dipilih Bu Elwi. Ia lebih memilih untuk menerapkan RPP Visualisasi teks di kelas 6. Semua siswa terlihat antusias dan senang selama pembelajaran. Kegiatan diawali dengan guru membacakan teks yang berjudul “Raja Ampat”, kemudian guru dan siswa bersama-sama membaca teks dan membuat koneksi terhadap teks yang dibaca sehingga kelas terlihat lebih interaktif. Setelah itu, siswa memvisualisasikan teks tersebut ke dalam bentuk gambar lalu mengabadikan karya-karya mereka di depan kelas.  Dokumentasi pendampingan di SDN 10 Tanjung Agung

        Well, salah satu sekolah dasar lainnya yang aku dampingi adalah SD Negeri 14 Tanjung Agung berada di Desa Tanjung Bulan tepat di sebelah Desa Pagar Dewa. Sekolah ini merupakan sekolah terbanyak kedua yang gurunya mengikuti kegiatan ToT Gernas Tastaba. Ada Bu Hersiliana, Bu Martiani, Pak Jonson, dan Pak Juheri. Keempat guru tersebut mengampu kelas di tingkat rendah dan tinggi. Bu Hersi si guru kelas 1 yang energik dan Bu Martiani si guru kelas 2 yang penyabar. Sedangkan Pak Jonson adalah guru tegas dari kelas 4 dan Pak Juheri si paling stylish dan friendly dari kelas 5. Selama pengambilan data Tes EGRA, guru kelas rendah berkolaborasi bersama begitu pula sebaliknya. Hasil yang diperoleh pun beragam di setiap kelompoknya. Untuk siswa di kelas rendah memang sedang tahap dalam belajar membaca dan memahami isi bacaan sehingga kemampuan membacanya pun merata. Sedangkan siswa di kelas tinggi ada 3 siswa yang sedang menjadi perhatian sekolah yaitu Arim di kelas 4 serta Jamilah dan Refki di kelas 5 yang sama sekali belum bisa membaca bahkan belum mengenal huruf. Ketiga siswa ini memiliki keterlambatan dalam proses berpikir di seluruh mata pelajaran namun tidak berlaku untuk kegiatan sehari-hari seperti bermain dan olahraga. Sehingga ketiga siswa tersebut akan menjadi target untuk kelas intervensi yang dilaksanakan di Kecamatan Tanjung Agung.   

        Selain itu, selama pendampingan 2 keempat guru tersebut memilih untuk mengimplementasikan RPP membaca yang berbeda. Bu Hersiliana memilih strategi Read Aloud dengan membacakan buku yang berjudul “Komidi Putar” dengan lantang di depan kelas. Terlihat bahwa  suasana kelas yang interaktif karena siswa merasa terhubung dengan cerita yang dibawakan. Kemudian, Bu Martiani mengimplementasikan RPP Fonik untuk paket huruf M, A, S, U, K di kelas 2. Kelas ini sangat kondusif selama pembelajaran berlangsung. Mereka suka melakukan kegiatan membaca dengan media flashcard alfabet dan menulis dengan kertas garis 4. Berbeda halnya untuk siswa kelas 4, Pak Jonson mengimplementasikan RPP pesan pagi untuk mengingatkan kembali konsep kata, kalimat, dan tanda baca kepada siswa. Sedangkan Pak Juheri lebih melatih untuk pemahaman siswa melalui RPP QAR. Teks yang digunakan adalah teks yang berjudul “Proklamasi” dimana siswa sudah tidak asing mendengar sejarah terkait kemerdekaan Indonesia tersebut.  Dokumentasi Pendampingan si SDN 14 Tanjung Agung

        Sekarang aku mau cerita tentang keseruan kegiatan kelas intervensi di Tanjung Agung bersama Arim, Refki, dan Jamilah. Arim Azat merupakan siswa kelas 4 yang sangat rajin sekolah. Yuk kita kenalan dulu! Arim memiliki keterlambatan dalam memahami pembelajaran sehingga diperlukan perhatian khusus dalam kegiatan pembelajaran. Arim hanya tinggal berdua dengan neneknya di rumah karena orang tuanya harus pergi ke kebun dan pulang satu kali dalam seminggu. Sebenarnya Arim sangat tekun dalam belajar. Namun dikarenakan belum bisa membaca, Arim seringkali tertinggal dari teman-teman lainnya. Berbeda halnya dengan Jamilah, Dia adalah siswi kelas 5 yang sering di-bully teman-temannya sehingga Jamilah seringkali disuruh-suruh oleh teman kelasnya untuk melakukan sesuatu. Jamilah sangat tertutup, sedikit pendiam, dan murah senyum. Dan yang terakhir ada Refki. Siswa kelas 5 yang hiperaktif dan menonjol di pelajaran olahraga. hmm, bisa dibilang sedikit nakal juga. Namun Refki memiliki antusias yang tinggi selama kegiatan kelas intervensi. Well, kita masuk ke kegiatan kelas intervensi ya!  Kelas intervensi merupakan kelas khusus yang diberikan untuk siswa/i yang belum bisa membaca berdasarkan tes EGRA yang pernah dilakukan. Sehingga siswa/i tersebut memerlukan pembelajaran membaca tambahan di luar jam pelajaran bersama TB. Adapun metode yang diterapkan adalah mengikuti silabus fonik yang sudah dirancang oleh Credo. TB menggunakan kartu huruf sebagai media untuk belajar dan memanfaatkan ice breaking yang pernah diperoleh selama pelatihan. Pada hari pertama kelas, kami belajar paket huruf M, A, dan S. Mereka bertiga sangat bersemangat untuk menyebutkan bunyi huruf eeemmmmm, aaaaaaaaaa, ssssssssss. Setelah itu, kami belajar untuk menggabungkan dan memisah bunyi-bunyi tersebut. Lalu dilanjutkan dengan latihan menulis huruf menggunakan kertas garis 4. Di hari kedua, paket huruf yang diberikan adalah paket U dan K dengan rutinitas yang sama. Pernah suatu ketika kami belajar di luar ruang kelas (lapangan). Disana kami memanfaatkan daun dan batu sebagai media belajar agar lebih menarik dan menambah semangat siswa. 

        Satu hal lagi yang paling berkesan adalah keseharian bersama siswa. Setiap pagi aku merasa kehadiranku sangat dinanti. Rasanya kaki ini belum menapakkan tanah (masih di atas motor) semua siswa berlarian ke arahku untuk memberi salam. Mungkin budaya salam ini sudah mulai memudar di daerah perkotaan, namun tetap melekat disini. Siswa kelas 1 dan 2 meraih kedua tanganku dan berkata "Ibu Zahwa lajari kami be" artinya Ibu Zahwa tolong ajarkan/ masuk ke kelas kami saja. I'll not forget these moment. Selain itu, setiap jam istirahat siswa kelas rendah sangat antusias untuk memintaku membacakan buku dengan lantang. Mereka mulai menyukai budaya membaca meskipun belum bisa membaca. Rasa ingin tahu mereka perlahan mulai meningkat. Hal ini dikarenakan banyak istilah-istilah baru yang terkadang ditemui ketika membaca. Kepercayaan diri untuk beragumentasi pun mulai muncul selama kegiatan pembelajaran karena metode yang digunakan guru mulai interaktif. Dari hal-hal kecil tersebut aku belajar bahwa kebiasaan positif untuk berliterasi akan muncul atas dasar cinta. Guru harus mencontohkan cinta itu terlebih dahulu kepada siswa dengan mengajarkan membaca bukan sebuah tuntutan kurikulum tapi tanggungjawab kehidupan. Sehingga guru akan selalu berusaha untuk menciptakan lingkungan berliterasi dengan beradaptasi, berkolaborasi, dan bereksplorasi. 

        Pada awalnya, aku sendiri tidak menyukai membaca. Mendengar kata membaca adalah momok tersendiri yang membuatku langsung mengantuk. Melihat buku saja langsung tertidur. Namun, perubahan besar telah terjadi. Menyandang gelar sarjana pendidikan, bertugas di dunia pendidikan, dan terjun sebagai pendidik mengubah mindset-ku seketika. Setelah bergabung dalam program Gernas Tastaba, aku merasakan feel bahwa "setiap guru adalah guru membaca" memang nyata. Membaca itu bukan sekedar mengajarkan alfabet, merangkai kata, ataupun membuat kalimat. Tetapi membaca disini adalah esensi dari berliterasi itu sendiri baik dalam bidang tertentu ataupun secara umum. Tanjung Agung menjadi saksi bisu pertama yang menyadarkanku. 

        Dengan demikian, banyak hal yang aku peroleh selama penugasan di Kecamatan Tanjung Agung ini. Mulai dari belajar untuk berkomunikasi baik dengan kepala sekolah, guru, korwil, maupun masyarakat. Kemudian berkolaborasi untuk mengimplementasikan hasil pelatihan yang telah diperoleh demi meningkatkan melek literasi pada siswa, hingga berkontribusi untuk kepentingan generasi bangsa. Fakta di lapangan yang tidak sesuai ekspektasi melatih untuk cepat beradaptasi. Aku percaya bahwa sistem pendidikan di desa memang tertinggal, namun aku tidak percaya jika itu tidak bisa dikejar. Mungkin langkah kecil yang kita berikan dapat berdampak besar untuk adik-adik di masa depan. Itulah sedikit cerita tentang misi yang kubawa untuk Tanjung Agung berliterasi. see you! 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Long-Distance Love, Written by Allah

Every great story begins with something small—an encounter, a message, or even a shared screen. Ours began quietly too, not with fireworks, but with formulas and Zoom meetings. It was 2021, and I was enrolled in a Differential Equations class at Universitas Sriwijaya. Everything was held online due to the pandemic, and that’s when I first saw his name pop up—Khairu Agus Wijaya, a calm and focused student from Merauke, Papua, who was joining through the Merdeka Student Exchange Program (PMM). We weren’t the only ones with cameras on, and there were no breakout rooms, but there were small-group discussions that consisted of four people. But somehow, amidst the grid of faces and silence between lectures, we began to notice each other. Our first interaction wasn’t even in Indonesian—it was in Mandarin, a language we both happened to be learning. That small spark led us to chat more through the class WhatsApp group. We began exchanging ideas about assignments, encouraging each other before...

To XB AIS Class: A Letter From Your Grateful Teacher

As my days at SMA IT Raudhatul Ulum come to an end, I find myself overwhelmed with gratitude, love, and—above all—deep sadness. Resigning from a place that has given me so much is not easy. But what makes it even harder is saying goodbye to a group of students who have left a permanent mark on my heart: XB AIS Class . This class wasn’t just a teaching assignment. It became a safe space, a little home inside the school walls. I still remember my first day with them. I didn’t know yet how close we would become, how they would end up becoming the most beautiful part of my journey in this school. These students—my students—taught me that love can be expressed in countless ways, even in a teacher-student relationship. Though I am older, and though I am supposed to be the one nurturing them, they were the ones who showed me love every day . Some of them encouraged me with kind words, always knowing the right thing to say when I looked tired or overwhelmed. Some gave me gifts—small, thou...

Cerpen: Ikatan Takdir Al Azhar

Study or Married Ikatan Takdir Al Azhar                 “ Ini secercah kisah kehidupanku yang penuh akan lika-liku alur perjalanan dari titik awal hingga ke akhir. Aku menemukan berbagai   rambu-rambu di setiap persimpang a n. Ketika waktunya untuk berhenti, aku akan mencoba untuk berhenti. Di saat aku harus memutar arah ke belakang, maka aku akan melihat masa lalu yang hampir sirna atau bahkan masih terngiang-ngiang di kepalaku dan sekejab akan menikung untuk menghindari tabrakan beruntun di sepanjang tol. Semua orang tidak akan tahu tentang nasib yang akan menyelimuti setiap waktu di sepanjang rute perjalanan umurnya. Kisahku dan kisahmu akan saling berhubungan.” Mungkin hanya itulah sepenggal paragraf yang masih ku ingat saat kita membaca sebuah novel bersama dikala putih abu-abu masih menjadi identitas kita dan toko muslim menjadi vila yang nyaman untuk persinggahan sehabis pulang sekolah. ...